A. Seni Bangunan
Ø Peninggalan sejarah berupa candi
1. Candi Prambanan
Candi Rara Jonggrang atau Lara Jonggrang yang
terletak di Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi
ini terletak di pulau Jawa, kurang lebih 20 km timur Yogyakarta, 40 km barat
Surakarta dan 120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Rara Jonggrang terletak di
desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten.
Candi ini dibangun pada sekitar tahun 850
Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai Pikatan, raja
kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak
lama setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan mulai rusak.
2. Candi Gedung Songo
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu, yang terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di
kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi.
Candi ini diketemukan
oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa
Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Candi ini memiliki
persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut
sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C)
Lokasi 9 candi yang
tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di
sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.
3. Candi Dieng
Candi
Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng,
Wonosobo, Jawa tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian
2000 m di atas permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m
dengan lebar sepanjang 800 m.
Kumpulan
candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8
sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa. Sampai saat
ini belum ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng, namun para
ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja
dari Wangsa Sanjaya. Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah prasasti
berangka tahun 808 M, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno,
yang masih masih ada hingga saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang ditemukan di
kawasan ini sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Pembangunan Candi
Dieng diperkirakan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung
antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama abad ke-8, meliputi
pembangunan Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca.
Tahap kedua merupakan kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi
sekitar tahun 780 M.
Candi
Dieng pertama kali diketemukan kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang
tentara Inggris yang sedang berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi
yang terendam dalam genangan air telaga. Pada tahun 1956, Van Kinsbergen
memimpin upaya pengeringan telaga tempat kumpulan candi tersebut berada. Upaya
pembersihan dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864,
dilanjutkan dengan pencatatan dan pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.
Luas
keseluruhan kompleks Candi Dieng mencapai sekitar 1.8 x 0.8
km2. Candi-candi di kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1
candi yang berdiri sendiri yang dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita
wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabarata. Ketiga kelompok candi tersebut
adalah Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca, Kelompok Dwarawati dan satu candi
yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.
a.
Kelompok Arjuna
Kelompok
Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi yang
berderet memanjang arah utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan,
kemudian berturut-turut ke arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan
Candi Puntadewa. Tepat di depan Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat
candi di komples ini menghadap ke barat, kecuali Candi Semar yang menghadap ke
Candi Arjuna. Kelompok candi ini dapat dikatakan yang paling utuh dibandingkan
kelompok candi lainnya di kawasan Dieng.
Candi
Arjuna. Candi ini mirip dengan candi-candi di
komples Gedong Sanga. Berdenah dasar persegi dengan luas sekitar ukuran sekitar
4 m2. Tubuh candi berdiri diatas batur setinggi sekitar 1 m. Di sisi barat
terdapat tangga menuju pintu masuk ke ruangan kecil dalam tubuh candi. Pintu
candi dilengkapi dengan semacam bilik penampil yang menjorok keluar sekitar 1 m
dari tubuh candi. Di atas ambang pintu dihiasi dengan pahatan Kalamakara.
Pada
dinding luar sisi utara, selatan dan barat terdapat susunan batu yang menjorok
ke luar dinding, membentuk bingkai sebuah relung tempat arca. Bagian depan
bingkai relung dihiasi dengan pahatan berpola kertas tempel. Bagian bawah bingkai
dihiasi sepasang kepala naga dengan mulut menganga. Di bagian atas bingkai
terdapat hiasan kalamakara tanpa rahang bawah. Pada dinding di kiri dan
kanan ambang pintu bangunan utara terdapat relung tempat meletakkan arca. Saat
ini kedua relung tersebut dalam keadaan kosong.
Pada
dinding di sisi selatan, barat dan utara terdapat relung tempat meletakkan
arca. Ambang relung diberi bingkai dengan hiasan pola kertas tempel dan
Kalamakara di atasnya. Kaki bingkai dihiasi dengan pahatan kepala naga dengan
mulut menganga. Tepat di pertengahan dinding di bawah relung terdapat jaladwara
(saluran air).
Atap candi
berbentuk kubus bersusun, makin ke atas makin mengecil. Bagian atas dan puncak
atap sudah hancur. Di setiap sisi masing-masing kubus terdapat relung dan di
setiap sudut terdapat hiasan berbentuk seperti mahkota bulat berujung runcing.
Sebagian besar hiasan tersebut sudah rusak.
Di tengah ruangan di dalam tubuh candi terdapat yang tampak seperti
sebuah yoni. Di sudut luar, menempel pada dinding belakang candi terdapat arca
yang sudah rusak.
Candi
Semar. Candi ini letaknya berhadapan dengan Candi
Arjuna. Denah dasarnya berbentuk persegi empat membujur arah utara-selatan.
Batur candi setinggi sekitar 50 cm, polos tanpa hiasan. Tangga menuju pintu
masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di sisi timur. Pintu masuk tidak
dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi bingkai dengan hiasan pola
kertas tempel dan kepala naga di pangkalnya. Di atas ambang pintu terdapat
Kalamakara tanpa rahang bawah.
Pada dinding
di kiri dan kanan pintu terdapat lubang jendela kecil. Di dinding utara dan
selatan tubuh candi terdapat, masing-masing, dua lubang yang berfungsi sebagai
jendela, sedangkan di dinding barat (belakang) candi terdapat 3 buah lubang.
Ruangan dalam tubuh candi dalam keadaan kosong. Atap candi berbentuk limasan
tanpa hiasan. Puncak atap sudah hilang, sehingga tidak diketahui lagi bentuk
aslinya. Konon Candi Semar digunakan sebagai gudang untuk menyimpan senjata dan
perlengkapan pemujaan.
Candi
Srikandi. Candi ini terletak di utara Candi Arjuna.
Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi
timur terdapat tangga dengan bilik penampil.
Pada dinding utara terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu, pada
dinding timur menggambarkan Syiwa dan pada dinding selatan menggambarkan
Brahma. Sebagian besar pahatan tersebut sudah rusak. Atap candi sudah rusak
sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya.
Candi
Sembadra. Batur candi setinggi sekitar 50 cm
dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan sisi selatan, timur
dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar, membentuk relung seperti bilik
penampil. Pintu masuk terletak di sisi barat dan, dilengkapi dengan bilik
penampil. Adanya bilik penampil di sisi barat dan relung di ketiga sisi lainnya
membuat bentuk tubuh candi tampak seperti poligon. Di halaman terdapat batu
yang ditata sebagai jalan setapak menuju pintu.
Sepintas Candi Sembadra terlihat seperti bangunan bertingkat, karena
atapnya berbentuk kubus yang ukurannya hampir sama besar dengan ukuran
tubuhnya. Puncak atap sudah hancur, sehingga tidak terlihat lagi bentuk
aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung kecil seperti tempat menaruh
arca.
Candi
Puntadewa. Seperti candi lainnya, ukuran Candi
Puntadewa tidak terlalu besar, namun candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi
berdiri di atas batur bersusun setinggi sekitar 2,5 m. Tangga menuju pintu
masuk ke dalam ruang dalam tubuh candi dilengkapi pipi candi dan dibuat
bersusun dua, sesuai dengan batur candi.
Atap candi
mirip dengan atap Candi Sembadra, yaitu berbentuk kubus besar. Puncak atap juga
sudah hancur, sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap
juga terdapat relung kecil seperti tempat menaruh arca. Pintu dilengkapi dengan
bilik penampil dan diberi bingkai yang berhiaskan motif kertas tempel.
Ruang
dalam tubuh candi sempit dan kosong. Di ketiga sisi lainnya terdapat jendela
yang bingkainya diberi hiasan mirip dengan yang terdapat di pintu. Sekitar
setengah meter di luar kaki candi terdapat batu yang disusun berkeliling
memagari kaki candi. Di depan candi terdapat batu yang disusun berkeliling
membentuk ruangan berbentuk bujur sangkar. Di tengah ruangan terdapat dua buah
susunan tumpukan dua buah batu bulat yang puncaknya berujung runcing.
Di utara
candi terdapat batu yang disusun berkeliling membentuk ruangan berbentuk
persegi panjang. Di tengah ruangan terdapat dua buah batu berbentuk mirip
tempayan yang lebar.
b.
Kelompok Gatutkaca
Kelompok
Gatutkaca juga terdiri atas 5 candi, yaitu Candi Gatutkaca, Candi Setyaki,
Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk dan Candi Gareng, namun saat ini yang
masih dapat dilihat bangunannya hanya Candi Gatutkaca. Keempat candi lainnya
hanya tersisa tinggal reruntuhannya saja.
Candi
Gatutkaca. Batur candi setinggi sekitar 1 m dibuat
bersusun dua dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan sisi
selatan, timur dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar, membentuk relung
seperti bilik penampil. Pintu masuk terletak di sisi barat dan, dilengkapi
dengan bilik penampil. Anak tangga di batur terlindung dalam dalam bilik
penampil.
Sepintas
Candi Gatutkaca juga terlihat seperti bangunan bertingkat, karena bentuk
atapnya dibuat sama dengan bentuk tubuh candi. Puncak atap sudah hancur,
sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat
relung kecil seperti tempat menaruh arca. Sekitar setengah meter di luar kaki
candi terdapat batu yang disusun berkeliling memagari kaki candi. Di halaman
Kompleks Candi Gatutkaca terdapat tumpukan batu reruntuhan keempat candi lain
yang belum dapat disusun kembali.
c.
Kelompok Dwarawati
Kelompok
Dwarawati terdiri atas 4 candi, yaitu Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi
Pandu, dan Candi Margasari. Akan tetapi, saat ini yang berada dalam
kondisi relatif utuh hanya satu candi, yaitu Candi Dwarawati.
Pada
pertengahan dinding tubuh candi di sisi utara, timur dan selatan terdapat
semacam bilik penampil yang menjorok keluar membentuk relung tempat meletakkan
arca. Bagian atas relung melengkung dan meruncing pada puncaknya. Ambang relung
dihiasi pahatan bermotif bunga yang sederhana. Demikian juga sisi atas dinding
bilik penampil. Ketiga relung pada dinding tubuh candi tersebut saat ini dalam
keadaan kosong tanpa arca.
Sepintas
candi ini juga terlihat seperti bangunan bertingkat, karena bentuk atapnya
dibuat sama dengan bentuk tubuh candi. Di keempat sisi atap terdapat relung
tempat meletakkan arca. Saat ini, relung-relung tersebut juga dalam keadaan
kosong. Puncak atap sudah tak tersisa lagi sehingga tidak diketahui bentuk
aslinya. Di halaman depan candi terdapat susunan batu yang mirip sebuah lingga
dan yoni.
d. Candi
Bima
Candi Bima
terletak menyendiri di atas bukit. Candi ini merupakan bangunan terbesar di
antara kumpulan Candi Dieng. Bentuknya berbeda dari candi-candi di Jawa tengah
pada umumnya. Kaki candi mempunyai denah dasar bujur sangkar, namun karena di
setiap sisi terdapat penampil yang agak menonjol keluar, maka seolah-olah denah
dasar Candi Bima berbentuk segi delapan.
Penampil
di bagian depan menjorok sekitar 1,5 m, berfungsi sebagai bilik penampil menuju
ruang utama dalam tubuh candi. Penampil di ketiga sisi lainnya membentuk relung
tempat meletakkan arca. Saat ini semuanya dalam keadaan kosong. Tak satupun
arca yang masih tersisa.
Bentuk atap candi terdiri atas 5 tingkat,
masing-masing tingkat mengikuti lekuk bentuk tubuhnya, makin ke atas makin
mengecil. Setiap tingkat dihiasi dengan pelipit padma ganda dan relung kudu.
Kudu ialah arca setengah badan yang nampak se olah-olah sedang menjenguk ke
luar. Hiasan semacam ini terdapat juga di Candi Kalasan. Puncak atap sudah
hancur sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.
4. Candi Sukuh
Bangunan
Utama Candi Sukuh.
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten
Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek
pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim
dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah
satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Situs candi Sukuh
dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java.
Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.
Lokasi candi Sukuh
terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut.
Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Bangunan candi Sukuh
memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang
didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari
candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya
Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Kesan kesederhanaan ini
menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga
argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu
melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga,
keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Pada teras pertama
terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki
makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Teras
kedua candi
Gapura pada teras kedua
sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga
pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak
jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak
dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala
pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya
dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini
memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka
atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh
tahun dengan gapura di teras pertama!
Teras
ketiga candi
Pada teras ketiga ini
terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri
serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi
candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi
daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga
sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang
mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para
gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka
selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi,
maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan
terlepas.
Tepat di atas candi
utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya
merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.
5. Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di
desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur.
Reruntuhan
candi Mendut sebelum dipugar, tahun 1880.
Candi Mendut didirikan
semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana
yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut. Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu
alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga
tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke
barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh
candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48
buah.Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
Kronologi penemuan
·
1836 – Ditemukan dan dibersihkan
·
1897 – 1904 kaki dan tubuh candi diperbaiki namun hasil
kurang memuaskan.
·
1908 – Diperbaiki oleh Theodoor van Erp. Puncaknya dapat disusun
kembali.
·
1925 – sejumlah stupa disusun kembali.
6. Candi Kalasan
Candi Kalasan atau Candi Kalibening merupakan sebuah candi yang dikategorikan sebagai candi umat Buddha terdapat di desa Kalasan, kabupaten Sleman, provinsi Yogyakarta, Indonesia. Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi jalan raya
antara Yogyakarta dan Solo serta sekitar 2 km dari candi Prambanan.
Pada awalnya hanya candi
Kalasan ini yang ditemukan pada kawasan situs ini, namun setelah digali lebih
dalam maka ditemukan lebih banyak lagi bangunan bangunan pendukung di sekitar
candi ini. Selain candi Kalasan dan bangunan - bangunan pendukung lainnya ada
juga tiga buah candi kecil di luar bangunan candi utama, berbentuk stupa.
Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini menyebutkan tentang pendirian
bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan
sebuah vihara untuk para pendeta. Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini bernama
Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai
Panangkaran) dari keluarga
Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra atau dengan prasasti Nalanda adalah ayah dari Samaragrawira.Sehingga
candi ini dapat menjadi bukti kehadiran Wangsa
Syailendra, penguasa Sriwijaya di Sumatera atas Jawa.
Pada bagian selatan
candi terdapat dua relief Bodhisattva, sementara pada atapnya terdiri dari 3
tingkat. Atap paling atas terdapat 8 ruang, atap tingkat dua berbentuk segi 8,
sedangkan atap paling bawah sebangun dengan candi berbentuk persegi 20 yang
dilengkapi kamar-kamar setiap sisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar